PRAKATA
“Seringkali, ketika orang belum percaya mulai
tertarik kepada ajaran Kristus. Justru mereka terhalang dengan kehidupan orang
Kristen yang tidak benar, tidak menghasilkan buah roh dan berbau busuk.”
Berbuah merupakan bagian yang sangat penting dalam perkebunan. Seseorang
yang menanam pohon mangga pastilah
menantikan buahnya bermunculan supaya dapat menikmatinya atau dijual untuk
menghasilkan keuntungan. Sehingga, orang lain pun menikmatinya. Pertanyaan
saya, jika saja pohon mangga yang anda tanam tidak menghasilkan buah, apakah
yang akan anda lakukan? Mungkin anda akan menjawab, “saya biarkan saja, supaya membuat rumah saya sejuk dan rindang.”
Jika jawaban anda seperti ini, maka pohon itu akan membuat halaman rumah anda
kotor oleh daun keringnya atau setidaknya ulat-ulat dari pohon itu akan masuk
rumah dan membuat anak-anak perempuan anda berteriak-teriak karena jijik. Saya
rasa tidak ada gunanya. Mungkin juga, anda akan menjawab, “pohon itu akan saya potong karena hanya membuat kotor halaman saya,
lebih baik kayunya dipakai untuk meja atau lemari.” Jawaban anda benar,
setidaknya pohon itu masih menghasilkan keuntungan bagi anda. Tapi intinya,
jika saja pohon mangga yang kita tanam tidak menghasilkan buah maka rasa kecewa
ataupun kejengkelan timbul dalam hati. Pohon yang seharusnya berbuah tetapi
tidak menghasilkan buah, tidaklah berkualitas dan tidak ada gunanya selain di
tebang.
Pada
suatu pagi yang indah, saat melakukan perjalanan ke kota, Yesus merasa sangat
lapar. Ia melihat pohon ara di pinggir jalan. Lalu, berjalan menuju pohon itu
dan berusaha mencari-cari buah dari pohon ara tersebut. Tetapi, tidak satupun
didapati-Nya, selain dedaunan saja. Melihat hal itu, Yesus berkata, “Engkau tidak akan berbuah lagi
selama-lamanya.” Seketika itu juga, pohon itu menjadi kering. Kisah ini
menunjukan bahwa Yesus tidak menyukai pohon yang seharusnya berbuah tapi tidak
berbuah (lih. Matius 21:18-22). Demikian tentunya semua orang, juga tidak
menyukai pohon buah yang tidak berbuah.
Ketika
saya masih meniti pendidikan di Institut Injil Indonesia, Batu Malang. Saya
sangat suka mengamati pohon klengkeng disebelah rumah dosen. Tepatnya di
samping ruang makan dan ruang belajar kampus kami, yaitu Kantate. Pada musimnya,
pohon itu selalu berbuah lebat dan terasa sangat manis untuk di nikmati.
Tetapi, kami sangat segan mengambil untuk memakannya. Alih-alih, kami mencoba
menunggu pohon klengkeng di samping ruang doa, tepatnya disamping kamar mandi
ruang doa. Disitu terdapat satu pohon klengkeng yang besar dan kelihatan
bertumbuh dengan sehat. Beberapa bulan kami menunggu buahnya, tetapi tidak
satupun muncul, sekalipun pada musimnya. Satu tahun kemudian, buahnya tetap
tidak muncul juga. Bahkan sampai saya pergi dari kampus tersebut, pohon
klengkeng itu tetaplah pohon klengkeng yang tidak pernah menghasilkan buah.
Dengan kata lain, pohon buah tersebut tidak berkualitas dan tidak berguna
selain di tebang lalu dibakar.
Sekali lagi saya katakan bahwa berbuah
merupakan aspek yang sangat penting, tidak hanya mengenai pohon ataupun tanaman
buah saja, melainkan juga sangat penting bagi orang percaya, seperti apa yang
diungkapkan oleh Paulus dalam Roma 7:4, “Sebab itu, saudara-saudaraku,
kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi
milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang
mati, agar kita berbuah bagi Allah. Dalam ayat ini, Paulus sangatlah mengharapkan
supaya kita sebagai orang yang telah ditebus Kristus dan telah menjadi milik-Nya
dapat berbuah bagi Allah. Bukan justru mandul atau tidak menghasilkan buah bagi
Allah.
Sejarah
menunjukkan bahwa Bangsa Israel pernah mengalami kemandulan rohani, seperti yang
tercatat dalam Hosea 9:10, yang mana Allah berkata, “Seperti buah-buah anggur di
padang gurun Aku mendapati Israel dahulu;
seperti buah sulung sebagai hasil pertama pohon ara Aku melihat nenek moyangmu. Perkataan ini, Tuhan sampaikan untuk
memuji kehidupan iman Israel mula-mula yang taat dan berbuah bagi Allah. Seperti
yang dilakukan pada zaman Yosua.
Kala itu
Yosua melepas bangsa itu pergi ketempat yang telah ditetapkan bagi mereka
diwilayah masing-masing sesuai dengan pembagian tanah yang dilakukan oleh Musa.
Karena mereka telah berhasil menghalau orang Kanaan dari daerah mereka. Dalam
perjalan hidup di tanah tersebut, Israel menundukan diri kepada Allah mereka;
beribadah kepada TUHAN sepanjang zaman Yosua dan sepanjang zaman para tua-tua
yang hidup lebih lama dari pada Yosua, dan yang telah melihat segenap
pebuatan yang besar, yang dilakukan
Tuhan bagi orang Israel. Melalui kisah tersebut, dapat dilihat betapa Israel
berbuah dan Tuhan sangat menyukainya ketaatan mereka. Tetapi masa transisi
terburuk dalam sejarah Israel adalah ketika Yosua bin Nun hamba Tuhan itu, mati
pada umur seratus sepuluh Tahun (Hakim-hakim 2:8). Seketika itu juga muncul
angkatan yang tidak mengenal Tuhan dan perbuatan tanganNya. Mereka meninggalkan
Tuhan dan mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa di sekeliling
mereka dan sujud menyembah kepadanya, sehingga mereka menyakiti hati Tuhan.
Demikianlah mereka meninggalkan Tuhan dan beribadah kepada Baal dan para
Asytoret (Hakim-hakim 2:10-13).
Setelah
titik ini, maka Israel menjadi mandul dan kehilangan buahnya. Kualitas yang
dulunya mereka miliki telah hilang. Oleh karena itu, dalam Hosea 9:10b tercatat demikian, “Tetapi mereka itu telah pergi
kepada Baal-Peor dan telah membaktikan
diri kepada dewa keaiban, sehingga mereka
menjadi kejijikan sama seperti apa yang mereka cintai itu.” Jelaslah
bahwa Israel yang dahulu berbuah banyak menjadi Israel yang tidak berbuah dan
menjadi kejijikan bagi Allah. Kata ”kejijikan” ini saya akan menganalogikanya
seperti buah yang berbau tidak enak, dipenuhi oleh ulat dan dikerumuni
lalat-lalat yang membuat orang tidak menyukainya terlebih memakannya. Inilah
buah yang busuk yang tidak disukai. Seperti halnya kehidupan Israel yang busuk
dan tidak disukai oleh Tuhan. Kebusukan-kebusukan semacam inilah yang saat ini
melapisi setiap persendian hidup orang percaya.
Kita semua
tahu bahwa pergumulah hidup orang percaya dewasa ini adalah bagaimana mereka
dapat menghasilkan buah yang manis, sedangkan lingkungan tidak mendukung untuk
menghasilkan buah tersebut. Saya mengambil contoh dari salah satu tempat yang
merupakan penghasil minuman beralcohol dari pohon Aren. Ketika saya
berbincang-bincang dengan salah satu orang yang kemungkinan berumur 59 tahun,
Ia mengutarakan bahwa pekerjaannya adalah kuli bangunan. Pekerjaan ini sudah
ditekuninya selama bepuluh-puluh tahun. Selain itu, ia memiliki usaha sampingan
yang menurutnya sangat menyenangkan, karena mendapatkan hasil yang relatife
memuaskan. Bahkan dalam tempo 1 minggu bisa mencapai penghasilan 400 ribu,
sekalipun tidak terlalu berat dan meyita waktu. Pekerjaan tersebut adalah
membuat “cap tikus”. Produk tersebut
adalah minuman keras yang terbuat dari pohon aren dan memiliki nilai alkohol
mencapai 40-70 %. Jika
saja dikonsumsi manusia, sekalipun hanya sedikit, pasti akan berakibat kepada
kemabukan yang sangat berat, bahkan minuman ini disebut-sebut sebagai pembunuh
nomor satu di Minahasa. Jika ditelaah lebih dalam,
daerah tersebut merupakan kantong Kristen, melainkan kehidupannya tidak mencerminkan
kehidupan berdasarkan Firman Tuhan. Inilah yang saya maksudkan bahwa orang
percaya saat ini tidak mampu menghasilkan buah karena lingkungan tidak
mendukung untuk berbuah.
Keprihatinan
ini yang selalu menggeliat dibenak saya dan mungkin saja dibenak anda juga.
Entah apa penyebabnya tetapi yang pasti orang percaya saat ini banyak yang
tidak dapat menghasilkan buah seperti yang diharapkan Tuhan Yesus. Kemungkinan
besar disebabkan oleh kehidupan orang percaya pada zona yang nyaman. Artinya begini,
jika saja lingkungan menganggap salah bagi orang yang memproduksi cap tikus,
maka orang yang memproduksi cap tikus akan merasa hidupnya tidak tenang dalam
menggeluti pekerjaan itu. Permasalahannya, lingkungan telah mengganggap benar
seseorang yang memproduksi cap tikus. Maka, terang saja produsen merasa nyaman
akan hal itu. Inilah yang dinamakan kesalahan
yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi kebenaran”.
Sisi
kehidupan di kota lain pun tidak jauh berbeda, mereka terikat dengan percabulan,
bahkan tidak sedikit yang memiliki kelainan seksual seperti lesbian, sekalipun
rajin mengikuti ibadah pemuda ataupun ibadah minggu. Di samping itu, Salah
seorang teman saya bercerita bahwa ketika berulang tahun, ia mengadakan
syukuran di depan rumahnya dengan menyewa tenda, dan keyboard tunggal. Tidak
hanya itu, ia pun membeli minuman keras sebagai pendamping pesta tersebut.
Alhasil, pesta tersebut berakhir ricuh, disertai perkelahian. Hal yang paling
menyedihkan adalah semua yang hadir pada
pesta tersebut merupakan orang Kristen, sedangkan tetangga sekitar
adalah orang Muslim. Jika demikian adanya maka akan berakibat kepada tumpulnya
pemberitaan Firman kepada orang tidak percaya. Dengan kata lain, orang yang
belum mengenal Tuhan menjadi tidak tertarik dengan kehidupan Kristen yang
terkesan tidak benar dan busuk.
Mahatma
Gandi pernah kecewa dengan kekristenan karena hal ini. Suatu hari ketika ia
bekerja sebagai pengacara di Afrika Selatan. Ia sangat tertarik dengan ajaran
Kristus, sehingga mempelajarinya dan mempertimbangkan untuk mengikut Kristus
dengan memilih salah satu gereja di kota tersebut. Ketika ia mulai melangkahkan
kaki untuk masuk kedalam gereja, salah seorang penerima tamu yang berkulit
putih menghalanginya dan menanyainya dengan kasar, “mau kemana kamu orang kafir?” dengan lembut Gandhi menjawab, “saya ingin mengikuti ibadah di tempat ini.”
Seketika ia diusir dengan nada yang tinggi, “enyah
sajalah engkau dari sini, tidak ada tempat bagi orang kafir disini. Pergi
sendiri atau aku menyuruh orang untuk melemparmu keluar?” Tindakan tersebut
mengakibatkan Gandhi enggan untuk mengikut Kristus. Pelayan Tuhan yang
seharusnya mewakili sifat Kristus, ternyata tidak memiliki kasih seperti
Kristus. Oleh sebab itu, ia menyatakan statement berikut ketika ditanyai
mengapa Gandhi menolak Kristus: "Saya
tidak pernah menolak Kristus. Saya suka Kristus Anda. Tapi saya tidak suka
dengan orang Kristen Anda." Mungkin hal tersebut pun
terjadi di kantong Kristen, ketika orang belum percaya mulai tertarik kepada
ajaran Kristus, justru mereka terhalang dengan kehidupan orang Kristen yang
busuk.
Saya tidak
bermaksud menyalahkan atau menyudutkan kota tertentu saja, namun maksud saya
hanya ingin mengangkatnya sebagai sample dari kantong-kantong Kristen saat ini
yang jika diungkapkan secara jujur, memang secara kuantitas sangatlah baik,
namun secara kualitas kerohanian sudah terpuruk. Antara lain daerah Manado,
Papua, Ambon, Medan, NTT, dan kota-kota lainnya, yang sekalipun Kristen, namun
kehidupan kegelapan masih menyelimuti daerah tersebut. Tidak dapat dipungkiri,
bahwa fenomena ini terjadi akibat dari gereja yang lebih mementingkan kuantitas
ketimbang kualitas umat. Gereja sibuk untuk mempercantik gereja dan
mempromosikannya kepada umat dengan tawaran fasilitas-fasilitas yang modern;
pendeta saling tuding dan bermusuhan dengan masalah saling mencuri domba;
gereja-gereja sibuk mengadakan kkr dengan dana puluhan juta demi hadirnya umat
yang banyak dan lebih banyak lagi dari sebelumnya; penginjilan-penginjilan
tanpa follow up, Dsb. Hal itu baik, tetapi jika saja kualitas umat harus
dikesampingkan, saya rasa ini tidak benar. Jika demikian, gereja harus
secepatnya berbenah dan memikirkan kualitas umatya.
Terlebih
dari itu, sesungguhnya saya ingin katakan jujur bahwa buku ini juga muncul dari
pergumulan saya selama masa skorsing satu tahun yang diakibatkan oleh
ketidaktaatan saya terhadap lembaga. Saya menyadari bahwa selama pembentukan di
Institut Injil Indonesia yang saya hormati, begitu banyak perbuatan saya yang
tidak menghasilkan buah yang manis untuk dinikmati orang yang disekitar saya.
banyak dari perbuatan saya yang justru busuk dan membuat orang lain tidak suka
kepada saya. Mereka justru tersandung oleh tingkah laku saya dan kemudian mulai
menjauhi saya. Saya ingin meninggalkan kebusukan tersebut dan rindu sebuah
perubahan yang signifikan, sehingga menjadi pribadi yang berkualitas yang
disukai oleh sesama terutama oleh Tuhan. Seperti halnya Samuel yang bertumbuh
menjadi seorang yang disukai oleh Tuhan dan manusia (1 Samuel 2:26,”tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar
dan semakin disukai, baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia.”)
Analogi yang tepat untuk menggambarkan
perubahan ini adalah methamorfosis ulat menjadi kupu-kupu. Sebagian besar orang
jijik ketika melihat ulat, selain bentuknya yang menjijikan, ulat pun selalu
membuat tanaman yang dihinggapi menjadi rusak dan busuk. Berbeda dengan
kupu-kupu, yang banyak di sukai orang. Selain bentuknya yang indah. Kupu-kupu pun
membuat tanaman yang dihinggapinya menjadi berbunga indah. Tapi jangan kuatir,
karena ulat yang buruk rupa, bisa berubah menjadi kupu-kupu yang indah. inilah
transformasi. Kita pun demikian, kehidupan kita yang busuk pun bisa berubah
menjadi kehidupan yang berkualitas dengan cara methamorfosis, menanggalkan
kebusukan, lalu, mengenakan tubuh baru, tubuh yang indah, tubuh yang telah
diperbaharui oleh Roh Kudus.
Methamorpfosis inilah yang di
sampaikan oleh Paulus bagi jemaat di Roma dengan berkata, ”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh
pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa
yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Adapun dua
kata yang ia pakai untuk membandingkan perubahan tersebut: Pertama, Menjadi serupa dengan dunia ini. Kata menjadi serupa berasal
dari bahasa Yunani Susxematitsestai yang
berasal dari kata dasar skeuma yang secara literal berarti bentuk fisik manusia
atau lapisan luar dari manusia. Namun, maksud Paulus dalam konteks ini adalah
perubahan diri dengan menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Sederhananya
adalah kelihatan berubah tetapi sesungguhnya tidak berubah. Yesus sering
memakai istilah munafik untuk menjelaskan hal ini Mat 23:1-36. Kemunafikan itu
juga pernah dilakukan Petrus dan Barnabas (Gal 2:13). Analogi yang tepat untuk
menjelaskan perubahan seperti dunia ini
adalah “bunglon” yang berubah warna sesuai dengan tempatnyam padahal perubahan
itu sementara saja. Perubahan jenis inilah yang dilarang oleh Paulus dengan
kata μὴ (me) yang artinya “jangan”
atau tidak boleh melakukan perubahan yang bersifat sementara saja.
Kedua, berubahlah oleh pembaharuan budimu kata berubah berasal dari
bahasa Yunani metamorphoustai, kata
morphe bukan berati hanya bentuk fisik tetapi suatu bentuk atau unsur atau
pokok yang tidak berubah-ubah. Perbedaan mendasar antara Skeuma dan Morphe
ialah Skeuma merupakan bentuk fisik seseorang yang tidak sama ketika ia bayi
dan ketika dewasa, tetapi morphe merupakan pribadi seseorang yang sama ketika
ia bayi dan ketika dewasa. Memang perubahan yang kedua ini merupakan perubahan
yang total baik luar maupun dalam seseorang. Ditambah lagi dengan kata
pembaharuan Anakainosei yang berarti
berubah menurut hakekat dan sifatnya. Berbeda dengan perubahan Neos yang berarti berubah waktu. Paulus
mengalami perubahan tersebut ketika sebelumnya ia adalah pembunuh tetapi
berubah (morphe) menjadi orang yang tidak pernah membunuh lagi (Kis 9:1-19).
Jadi, Paulus mengharapkan perubahan yang
dialami oleh orang percaya adalah perubahan permanent bukan temporer. Bukan
seperti Bunglon yang berubah-ubah seperti tempat yang dihinggapinya. Melainkan, seperti kupu-kupu yang sudah tidak
bisa kembali lagi menjadi ulat. Inilah perubahan menjadi pribadi yang
berkualitas. Pribadi yang paling disukai dan diinginkan.
Analoginya seperti ini, seandainya
anda membeli Charger laptop, manakah yang anda pilih? Barang imitasi yang hanya
mampu bertahan 3 bulan saja karena murahnya atau barang original yang mampu
bertahan lama karena kualitasnya? Tentunya, anda akan memilih yang berkualitas,
bukan? Demikianlah kehidupan kita, ketika telah menjadi pribadi yang
berkualitas, maka kita akan menjadi pribadi yang disukai oleh sesama kita, dan
Tuhan kita pun akan disukai juga.
Demikianlah kerinduan saya yang paling dalam. Saya tidak tahu apakah
pergumulan ini juga menjadi pergumulan anda. Apakah teman anda juga
meninggalkan anda? Atau rekan-rekan anda merasa tidak nyaman bersama dengan
anda dan mulai meninggalkan anda? Atau anda juga mengamati bahwa kekristenan
sekarang telah menjadi buah yang berbau busuk bagi orang belum percaya sehingga
mereka tidak tertarik kepada Tuhan Yesus kita? Tetapi yang pasti, jika saja
kebusukan ini terus menerus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan kekristenan
akan kehilangan generasi, dan muncul angkatan yang hidup tidak mengenal Tuhan,
karena generasi baru tersebut tidak menikmati buah dari generasi sebelumya.
Berdasarkan beberapa masalah diatas, jelaslah bahwa tidak ada jalan lain
untuk menjadi cerminan Kristus, selain menanggalkan kebusukan dalam diri kita
yang terdiri dari percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala,
sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan,
roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Selanjutnya,
saya meyakini bahwa berbuah dalam roh dengan cara merenungkan dan melakukan
Firman Tuhan; Berdoa dan belajar dari pengalaman/sejarahlah adalah solusinya. Dengan
demikian, kita akan menjadi pribadi yang berkualitas. Oleh karenanya, saya akan
memberikan solusi terhadap masalah ini, berdasarkan Galatia 5:22-23, “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita,
damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada
hukum yang menentang hal-hal itu.”